Kamis, 05 April 2012

temper tantrum pada anak

sumber: rumah bunda

Temper tantrum adalah ledakan kemarahan yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa terencana. Pada anak-anak, ini bukan hanya untuk mencari perhatian dari orang dewasa saja. Ketika mengalami tantrum, anak-anak cenderung melampiaskan segala bentuk kemarahannya. Baik itu menangis keras-keras, berteriak, menjerit-jerit, memukul, menggigit, mencubit, dsb.

Normalnya, tantrum (baca: marah-marah) pada anak-anak hanya terjadi sekitar 30 detik sampai 2 menit saja. Tapi, jika kemarahan berlanjut sampai pada tingkat yang membahayakan dirinya atau orang lain, maka ini bisa menjadi hal yang sangat serius.

Temper tantrum biasanya terjadi pada anak usia 1-4 tahun. Meski tidak menutup kemungkinan anak-anak yang lebih tua, bahkan orang dewasa pun pernah mengalami ledakan kemarahan ini. Dan pada dasarnya, marah-marah pada anak-anak usia 1-4 tahun adalah hal yang wajar terjadi bagi usia mereka. Kebanyakan anak-anak mengalami hal ini.

Mengapa harus marah-marah?

Temper tantrum biasa terjadi karena beberapa hal pemicu. Diantaranya adalah:

1. Frustrasi. Jangan dikira hanya orang dewasa saja yang bisa frustrasi. Anak-anak pun mengalami hal ini. Misalnya, anak-anak akan menjadi cepat marah manakala mereka tidak bisa mencapai sesuatu yang sangat mereka inginkan. Dalam artian, mereka gagal. Kegagalan memicu rasa frustrasi, dan akhirnya kemarahan itupun meledak.

2. Lelah. Anak-anak yang kelelahan, akan menjadi mudah marah. Aktivitasnya yang padat dan sedikit waktu bermain akan membuat anak-anak cepat marah dan emosi.

3. Orangtua terlalu mengekang. Sikap orangtua yang terlalu banyak mendikte dan mengekang anak, juga dapat berpengaruh bagi emosinya. Anak-anak yang merasa jenuh dengan kekangan orangtuanya, suatu saat akan mencapai titik puncak kejenuhan. Dan marah-marah adalah salah satu bentuk ledakan tersebut.

4. Sifat dasar anak yang emosional. Beberapa anak mewarisi sifat dasar emosional dari orangtuanya. Mereka ini cenderung tidak sabaran, gampang marah meski karena hal-hal kecil.

5. Keinginan tak dipenuhi. Salah satu kesalahan yang sering kali dilakukan orangtua adalah mereka begitu mudahnya membujuk anak-anak dengan iming-iming. Menangis sedikit, anak dibujuk dengan es krim atau mainan. Nah, akhirnya ini akan menjadi kebiasaan, dan anak-anak mengenali pola ini. Suatu ketika, ia memiliki keinginan akan sesuatu, ia akan menangis dan mengamuk jika keinginan tersebut tidak segera dipenuhi oleh orangtuanya.

Bagaimana mengatasinya?

Mengatasi anak-anak yang sedang mengamuk itu gampang-gampang susah. Penuh dilemma. Tapi, ada beberapa kiat yang bisa kita gunakan untuk mengatasi masalah ini.

1. Cari tahu penyebabnya. Dengan mengetahui penyebab anak-anak mengamuk, kita akan mudah menentukan langkah yang harus kita ambil dalam menghadapi mereka.

2. Jangan ikut emosi. Biasanya, orangtua akan ikut-ikutan menjadi emosi manakala anak mereka mengamuk. Orangtua bisa memukul, mencubit, dsb. Apakah itu solusi? Tidak. Anak-anak bukannya akan belajar mengatasi kemarahan mereka, tapi malah semakin menganggap orangtuanya jahat.

3. Abaikan dan ajari anak mengatasi kemarahannya. Jangan turuti semua hal yang diinginkan pada saat itu juga. Bersikap cuek dan tidak memperdulikan kemarahannya, sebenarnya adalah cara yang sangat jitu untuk membuatnya tahu, bahwa kemarahannya tidak bisa membeli keinginannya. Katakan padanya, bahwa hanya anak-anak yang menyampaikan keinginan dengan cara yang baiklah yang akan mendapatkan keinginannya itu dari Anda. Bukan dengan amukan, tangisan, bahkan berguling-guling. Sikap tegas dan konsistensi Anda dengan sikap ini akan membuatnya berlatih lebih disiplin.

4. Sudut diam. Dalam artian, bukan mengurung anak di kamar mandi atau di gudang. Tidak perlu main kunci pintu atau rantai. Cukup sediakan sebuah kursi yang Anda sebut sebagai kursi diam. Saat mengamuk, dudukkan anak disana, dan ia tidak boleh kemana-mana sampai ia bisa menenangkan diri. Boleh juga meminta anak untuk masuk ke kamarnya sendiri dan menenangkan diri. Ia boleh keluar dan kembali menyapa Anda setelah ia tenang.

Normalnya, memasuki usia 5 tahun, saat anak-anak mulai bersekolah dan bergaul dengan teman sebayanya, mereka telah mulai dapat mengatasi gejolak emosi mereka. Sesekali mungkin marah, tapi, mereka lebih bisa menahan diri. Nah, jika dalam waktu bertahun-tahun di masa sekolah mereka belum juga bisa mengatasi permasalahan ini, ini kemungkinan besar menunjukkan bahwa anak-anak bermasalah dalam emosinya. Bisa jadi, karena kesulitan belajar atau kesulitan bergaul dengan lingkungannya. Dan Anda butuh untuk berkonsultasi pada ahlinya untuk mengatasi masalah ini.

Mengatasi Tantrum Pada Anak

Sumber: Indofamily.net oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.

Jika anak-anak menangis dan mengamuk hanya karena tak dibelikan mainan kesukaannya, orangtua diharap memahami kondisi ini. Luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol pada anak-anak, disebut sebagai Temper Tantrum.

Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun. Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2.Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3.Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
4.Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
5.Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
6.Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:

1. Di bawah usia 3 tahun:
* Menangis
* Menggigit
* Memukul
* Menendang
* Menjerit
* Memekik-mekik
* Melengkungkan punggung
* Melempar badan ke lantai
* Memukul-mukulkan tangan
* Menahan nafas
* Membentur-benturkan kepala
* Melempar-lempar barang
2. Usia 3 - 4 tahun:
* Perilaku-perilaku tersebut diatas
* Menghentak-hentakan kaki
* Berteriak-teriak
* Meninju
* Membanting pintu
* Mengkritik
* Merengek
3. Usia 5 tahun ke atas
* Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
* Memaki
* Menyumpah
* Memukul kakak/adik atau temannya
* Mengkritik diri sendiri
* Memecahkan barang dengan sengaja
* Mengancam

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum.

Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum.
Contoh lain:
anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum.

Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum.

Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).


Cara Mengatasi
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir.
Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit.

Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut).

Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
  • Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
  • Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
  • Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambahburuk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai". Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.